Ada sebuah kisah cinta yang paling kena di hati saya dari sekian banyak buku atau novel yang pernah sayabaca. Kisah cinta klasik berupa roman religi dalam buku yang satu ini…
Penulis : Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
Penerbit : PT. Bulan Bintang – Jakarta, 1988
Cetakan ke-18, 64 halaman.
Kisah kasih tak sampai yang memilukan hati antara Hamid dan Zaenab dengan latar Tanah Minang dan Mekkah di era tahun 1920-an. Buku ini merupakan karya paling fenomenal buah tangan seorang HAMKA, salah satu pujangga Angkatan Balai Pustaka.
Berkisah tentang Hamid anak seorang janda miskin yang pendidikannya dibiayai oleh tetangganya yang kaya raya dan dermawan, Haji Ja’far. Sedari kecil Hamid bersahabat dengan Zaenab, putri semata wayang Haji Ja’far. Dengan berjalannya waktu tumbuh benih-benih saling cinta yang begitu hebatnya di antara Hamid dan Zaenab. Namun rasa saling mencinta ini terkendala kesenjangan status sosial dan adat istiadat yang berlaku.
Akhirnya Hamid berkelana dan menuntut ilmu agama hingga ke Mekkah melepas rasa cintanya yang mendalam, tanpa kabar. Dan Zaenab dengan setia menanti cinta Hamid di kampung halaman. Hingga keduanya menjemput ajal dalam usia muda, cinta mereka tak kunjung kesampaian.
Klise ???!!!
Namun karena novella ini merupakan karya sastra lama dan sarat dengan kosakata Indonesia klasik, ramai dengan kalimat-kalimat bersayap bergaya bahasa asosiasi, hiperbolis dan personifikasi, jadilah kisah ini sebuah karya abadi tak lekang oleh zaman. Inilah cikal bakal karya sastra religi yang kemudian booming kembali di era 2000-an.
Novel yang tipis-tipis saja. Sebenarnya pun konflik yang terjadi antara Hamid dan Zaenab tidak terlalu luar biasa. Tidak pula dilengkapi dengan hadirnya karakter antagonis yang umumnya menjadi daya tarik dalam sebuah cerita. Namun cara HAMKA dalam mengisahkan rasa cinta yang mendalam namun tak terungkap dalam hati Hamid dan Zaenab, begitu berhasil mengaduk-aduk perasaan.
Pada Bab 5 “Seperuntungan” dikisahkan bagaimana saat-saat menjelang ajal Ibunda Hamid berwasiat kepada putranya untuk memadamkan api cintanya kepada Zaenab. Karena Ibunya yakin sekali, walaupun Zaenab membalas cinta Hamid namun tentu akan terkendala oleh mupakat kaum kerabat. Ibunda Hamid tak mau putranya itu akan putus asa, malu hingga melarat jiwa karena cinta yang tak bisa disatukan.
…”Hapuskanlah perasaan itu dari hatimu, jangan ditimbul-timbulkan juga. Engkau tentu memikirkan juga, bahwa emas tak setara dengan loyang, sutera tak sebangsa dengan benang.”
Lalu pada Bab 6 “Tegak dan Runtuh”, Hamid diminta tolong oleh Ibunya Zaenab untuk melunakkan hati dan membujuk Zaenab agar mau menikah dengan anak seorang kerabat dekat. Tak terperi hati membayangkan bagaimana perasaan hati Hamid dan Zaenab manakala pembicaraan itu terjadi.
…”Sekarang, karena memikirkan kemuslihatan rumah tangga dan memikirkan hati ibumu, pada hal hanya dia sendiri lagi yang dapat engkau khidmati, ia berkehendak supaya engkau mau dipersuamikan . . . dipersuamikan dengan . . . kemenakan ayahmu.”…
Membayangkan apabila adegan-adegan dalam novel tersebut diekranisasi menjadi adegan sinematik, saya yakin bisa menghasilkan film berkualitas tinggi. Namun sebaliknya akan hancur lebur tak berhasil jika yang berperan sebagai Hamid dan Zaenab adalah aktor-aktris kacangan tanpa bakat cemerlang. Atau didirect oleh sutradara tanpa idealisme mendalam. Maka segala rasa dan pikiran yang ingin dicurahkan oleh seorang HAMKA melalui karya sastranya pasti akan hancur berantakan tak tersampaikan.
aku baca tenggelamnya kapal van der wijck waktu masih sma bro
Kalo suka, aku ada satu link isinya kumpulan ebook sastra Indonesia lama
Sebenarnya sastra lama buat ngimbangi bacaan yg sekarang aja sih. Supaya vocab kosakata klasiknya ga perlahan menghilang.