Setelah hampir setahun tak menulis di sini...
Kecuali film bertema anak-anak yang niatnya karena pengen ngajak nonton keluarga, saya malas sekali nonton film Indonesia di bioskop. Lalu ada film ini yang cukup berhasil mematahkan keengganan saya merogoh kocek untuk berkunjung ke bioskop demi menonton sebuah produksi sinema buah karya anak bangsa. Hahayyyy....
Kecuali film bertema anak-anak yang niatnya karena pengen ngajak nonton keluarga, saya malas sekali nonton film Indonesia di bioskop. Lalu ada film ini yang cukup berhasil mematahkan keengganan saya merogoh kocek untuk berkunjung ke bioskop demi menonton sebuah produksi sinema buah karya anak bangsa. Hahayyyy....
99 Cahaya di Langit Eropa
(Maxima Pictures -2013)
Sutradara :Guntur Soeharjanto
Pemeran : Acha Septriasa, Abimana Aryasatya,
Raline Shah, Dewi Sandra, Alex Abbad,
Nino Fernandez, Marissa Nasution
Diangkat dari Novel : 99 Cahaya di Langit Eropa
karya : Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra
Saya belumlah terlalu familiar dengan nama sutradara Guntur Soeharjadi. Walau dengar-dengar filmnya sebelum ini "Tampan Tailor" dikata lumayan mendapat respon positif. Yang jelas melalui film 99 Cahaya ini kiprah Guntur bisa disebut terpuji. Saya bisa katakan tidak rugi mengajak istri saya nonton film ini malam-malam ke bioskop.
***
Hanum (Acha Septriasa) sedang menemani suaminya Rangga (Abimana) menyelesaikan studi S3nya di Wina, Austria. Sebagai mantan reporter di Indonesia, untuk membunuh rasa bosan keseharian Hanum diisi dengan berjalan-jalan mengamati dan memotret bangunan-bangunan di kota Wina. Berniat menambah aktivitasnya, Hanum kemudian mengambil kursus bahasa Jerman yang menyebabkan ia bertemu dengan seorang muslimah keturunan Turki bernama Fatma Pasha (Raline Shah) dan putrinya Aysee.
Fatma diceritakan masih memiliki darah Kara Mustafa Pasha, seorang pimpinan militer Turki di masanya yang mencoba berekspansi ke Wina dengan membawa nilai-nilai Islam. Namun ekspansi tersebut dapat dipukul mundur oleh Austria bersama sekutunya Polandia. Foto Jendral Kara Mustafa masih terpajang di Museum Wina namun dengan label "Seorang Penjahat". Dengan latar sejarah itulah menyebabkan keturunan muslim Turki hingga saat ini mendapat perlakuan kurang toleran dari masyarakat awam Austria. Contohnya adalah apa yang dialami Aysee, sering mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari teman-temannya di sekolah karena kesehariannya yang mengenakan jilbab.
Melalui Fatma, Hanum mengenali jejak-jejak peninggalan muslim di Austria. Lebih jauh, Fatma dan beberapa teman Turkinya mengajak Hanum untuk aktif menjadi agen pembawa cahaya Islam di tengah-tengah mayoritas non-muslim Eropa. Tak hanya itu, Fatma pun mengenalkan Hanum pada seorang muallaf Prancis bernama Marion (Dewi Sandra). Di Prancis, dari Marion, Hanum kembali membaca peninggalan-peninggalan Islam di Eropa. Di salah satu museum di Prancis, Hanum dikenalkan pada kaligrafi Arab di kerudung lukisan Bunda Maria yang berlafadz Syahadat, hingga garis bayangan lurus yang menghubungkan menara Eiffel dan beberapa situs di Paris dengan Ka'bah di Mekkah. Dikatakan bahwa konstruksi garis lurus itu merupakan ide dari Napoleon Bonaparte yang kabarnya adalah seorang muallaf pula.
Sebagai dinamika, dikisahkan bagaimana kehidupan Rangga di kampus dengan berbagai problematika sebagai mahasiswa muslim di Eropa. Tentang bagaimana Rangga suatu kali dihadapkan pada pilihan yang sulit harus sholat Jum'at atau ikut ujian, kesulitan memperoleh tempat sholat yang layak dikampus serta relasinya dengan teman-teman kampusnya seperti Khan (Alex Abbad), seorang muslim berpandangan keras, lalu dengan Stefan (Nino Fernandez) seorang atheis yang penasaran dengan Islam, juga ada pula seorang mahasiswi cantik agak menggoda bernama Maarja (Marissa Nasution).
***
Secara keseluruhan film ini tidak membosankan. Mengalir lancar dengan beberapa kali suguhan bumbu komedi yang tepat guna. Pemilihan casting juga layak dibilang tepat. Semua pemeran dapat menampilkan akting yang baik walau peran mereka memang tidak memberi kesempatan untuk dapat memberikan pengembangan karakter yang sangat istimewa. Sedikit disayangkan, kemunculan Fathin Sidqia Lubis di penghujung film terkesan dipaksakan walau tidak sampai parah mengganggu.
Lanskap Eropa dapat ditangkap dengan manis oleh pembuat filmnya. Bahasa gambar tour de Europe melalui bangunan, arsitektur, museum, sungai, panorama dll mampu mengiring penonton menjelajahi jejak-jejak Islam di Eropa yang ingin disampaikan. Sudut pengambilan gambarnya berhasil bicara tanpa kata dan memberi kesan cantik. Saya pikir ini merupakan pencapaian terbaik dari film ini.
Story telling tentang tour sejarah Islam di Eropa juga tersampaikan dengan lugas tanpa harus terjebak pada narasi dokumenter. Saya belum baca novel dan fakta sejarahnya sehingga belum berani bilang bahwa jejak-jejak Islam di Eropa yang disampaikan melalui film ini merupakan fakta otentik atau bukan. Tapi sangat lah menarik menebak-nebak lalu mengetahui informasi-informasi tersebut melalui film ini. Saya jadi ingin mencari tahu lebih jauh lagi.
Musik latarnya lumayan seru, walau belum terlalu dahsyat menggetarkan hati. Selipan iklan di film mungkin susah dihindari buat film jaman sekarang. Syukurnya di 99, spot iklannya digarap dengan halus dan masuk akal. Satu lagi...kumandang adzan dari atas menara Eiffel itu bagus sekali. Suara siapa yang dipakai ? Walau adegan ini sebenarnya agak-agak provokatif (baca : dakwah), tapi idenya original dan toh tak ada yang salah jika ada orang beradzan di atas menara Eiffel, kan? Apalagi ini emang tergolong genre film religi.
Walau demikian, ada beberapa hal yang agak sedikit mengganggu. Pertama mungkin peralihan dari bahasa bersubtitle yang sekonyong-konyong menjadi bahasa Indonesia awam. Tapi termaafkanlah karena pasti susah sekali memaksa orang Indonesia harus berbahasa asing yang bukan enggresss sepanjang film. Lalu...beberapa scene juga menjadi kanibal bagi arah cerita yang akan disampaikan. Fatma diceritakan kesulitan memperoleh pekerjaan karena ia mengenakan jilbab dalam kesehariannya. Tapi di satu sisi bahasa Jermannya emang cekak. Kenapa ia tidak sedari dulu mendalami bahasa Jerman agar mudah diterima oleh masyarakat setempat ? apalagi dengan idealismenya sebagai agen Islam. Jadi agak agak ga relevan apa sebenarnya kendalanya, jilbabkah? atau kemampuan bernahasa Jerman ? Juga yang menurut saya agak kurang pas konfliknya, sejak awal penonton dibuat jatuh hati pada karakter Aysee, si gadis kecil putri semata wayangnya Fatma. Keteguhannya dalam mengenakan jilbab di sekolah meski ia diledek teman-temannya tentu membuat kita jatuh hati pada gadis kecil tersebut. Tapi justru ketika kemudian kita tahu apa yang menyebabkan ia teguh berjilbab yang harusnya membuat kita semakin jatuh hati, di sisi lain malah meruntuhkan asumsi kita semula.
***
Bagaimanapun, saya berani bilang bahwa ini film bagus. It's a recommended movie.
Layak ditonton karena digarap dengan apik meski sedikit ada kekosongan detil dari segi cerita. Saya jadi tertarik membaca sejarah Islam di Eropa dan tertarik juga membaca novelnya.
Satu quote yang bagus dari film ini dan berhasil menggetarkan diucapkan dari seorang gadis kecil...
Aysee : "Hey masalah besar...aku punya Tuhan yang lebih besar."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar